CERITA PENDEK

 

Rahasia Sepucuk Surat

Karya Roikhatuz Zahroh


                        Sumber gambar: pinterest

Sudah terhitung sebulan ini aku berteman dengan orang yang awalnya kukira penguntit. Selalu mengikuti kemanapun aku pergi dan menghilang begitu saja. Dia seorang laki-laki jangkung berparas tampan, manik matanya coklat gelap dengan tatapan teduh, kulitnya kuning langsat dan rambutnya hitam legam.

Kuakui dia memang sangat aneh dan misterius. Beberapa kali aku tanyakan padanya untuk apa dia mengikutiku dan dimana rumahnya atau keluarganya. Dia menjawab karena bisikan hati, sebuah alasan yang menurutku sangat klise. Soal rumah ataupun keluarga, dia selalu mengatakan jika rumah dan keluarganya sangat jauh. Tak lebih dari itu dia selalu berhasil mengalihkan pembicaraan jika aku bertanya apapun tentang dirinya. Dia memang pandai berkata. Seakan punya kekuatan hipnotis yang mampu membuatku mengikuti alur pembicaraannya begitu saja, tanpa tahu fakta sedikitpun tentang dirinya, kecuali namanya Anggaraksa Abhirama.

Sore itu sepulang kuliah aku pergi ke taman kota untuk menemui Raksa, begitulah sapaannya. Lebih tepatnya kita sudah janjian untuk bertemu di taman kota.

Aku berjalan santai. Tidak perlu naik bus atau kendaraan umum lainnya, karena jarak taman kota dan kampusku bisa dibilang cukup dekat. Jalanan begitu padat dipenuhi para pengendara baik mobil maupun motor. Kebisingan jalan semakin menjadi saat traffic light berubah warna menjadi hijau. Klakson para pengendara saling bersautan seperti kicauan burung dalam perlombaan. Mereka tergopoh-gopoh tidak sabaran, terkadang terdengar umpatan bersama lengkingan klakson itu. Aku merasa beruntung, andai saja aku naik kendaraan umum pastilah aku ikut terjebak di kemacetan itu.

Berbeda dengan jalanan, trotoar ini terlihat senggang hanya ada beberapa pejalan kaki. Di sisi kananku, beberapa pedagang kaki lima yang masih nekat berjualan, meskipun Satpol PP pernah beberapa kali merazia kawasan ini.

Sesampai di taman, aku sudah melihat Raksa menduduki kursi panjang dibawah pohon rindang. Letaknya sedikit jauh dari tempat yang biasa menjadi favorit pengunjung taman. Barangkali Raksa memang suka duduk dibawah pohon yang tidak terlalu ramai, karena aku tahu ia adalah orang yang suka ketenangan.

Aku berjalan sepelan mungkin, berencana untuk mengagetkan Raksa. Tapi nyatanya gagal karena ia lebih dulu tahu kedatanganku.

"Aku akan selalu tahu jika kamu datang, Nareswari," ucapnya diiringi dengan senyuman tipis.

Aku mencebikkan bibirku kesal mendengar pernyataannya dan langsung duduk di kursi yang sama dengan Raksa. Keheningan menyelimuti kami.

Sore ini taman tidak begitu ramai. Berbeda jika hari libur atau akhir pekan pastilah taman ini sangat ramai. Tak jauh dari tempat kami duduk, terlihat beberapa anak kecil bermain jungkat-jungkit yang merupakan salah satu fasilitas untuk bermain anak-anak. Kebetulan juga, ada sekelompok pemusik jalanan yang menggelar pertunjukan.

 Matahari tampak bersinar kemerahan di ufuk barat. Terdengar sayup-sayup suara kicauan burung bersama gemerisik daun pepohonan rindang di taman ini. Angin sore berhembus lembut menerbangkan sedikit anak rambut di wajahku. 

"Bagaimana kuliahmu hari ini?" Tanya Raksa memecah keheningan diantara kami.

Aku beralih menatap Raksa, mataku langsung bertubrukan dengan manik matanya.

"Biasa saja, memang apa yang kamu harapkan?"

"Tidak ada, aku hanya bertanya," jawabnya diakhiri senyuman tipis, "bagaiman dengan orang tuamu?" sambungnya dengan ekspresi serius.

Pertanyaan Raksa membuat air mukaku berubah murung. Aku menundukan kepala. Tanganku mengepal erat, menahan gejolak emosi yang tiba-tiba muncul begitu saja. Aku tak suka jika ada orang yang mengungkit tentang orang tuaku, karena hal itu akan selalu mengingatkanku pada masalah-masalah yang terjadi dalam keluargaku. Tapi nyatanya aku sudah banyak menceritakan masalah keluargaku kepada Raksa, bahkan teman dekatku pun tidak tahu.

Aku bisa merasakan jika sorot mata Raksa tak pernah beralih dariku. Akhirnya kuputuskan untuk menatap wajahnya, yang kudapat bukan wajah serius seperti tadi, melainkan senyuman menenangkan yang tercetak jelas diwajahnya. Membuat aku sedikit lebih tenang.

Raksa meraih tanganku dan menggenggamnya.

"Cobalah untuk berdamai dengan orang tuamu, Nareswari. Cobalah mengerti jika setiap orang dewasa pasti punya masalah. Kamu nggak bisa terus lari seperti ini dari masalah." Suara Raksa begitu lembut tanpa emosi. Namun, tak cukup untuk membuatku menerima nasihatnya.

"Tapi mereka sendiri yang membuat masalah. Mereka hanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, bertengkar hampir setiap hari. Dan mereka seperti tak pernah menganggapku ada. Bagaimana aku bisa menghadapi itu, Raksa. "

Mataku mulai berkaca-kaca, sekuat mungkin aku menahannya agar air mata tidak jatuh didepan Raksa.

"Bagaimanpun juga tidak ada orang tua yang tidak sayang anaknya. Cobalah bersabar dan hadapi, Nareswari."

Aku beralih mengamati sekitar untuk menghindrai tatapan Raksa dan tidak tahu kenapa beberapa oarang disekitar menatapku aneh. Aku yang merasa baik-baik saja, tak menghiraukan tatapan mereka. Barangkali mereka kagum dengan sosok Raksa yang beruntungnya memiliki wajah tampan.

Raksa melepaskan genggaman tangannya membuatku kembali menghadapnya. "Mulailah untuk bisa menghadapi masalahmu sendiri dan jangan banyak bergantung pada orang lain. Aku nggak mungkin bisa selalu ada didekatmu saat ada masalah."

Aku mengernyit. Kata-kata Raksa membuat perasaan aneh dan khawatir bersarang dihatiku. Namun segera kutepis perasaan aneh itu. Kuhembuskan nafasku pelan untuk merilekskan fikiran-fikuran tak baik yang mulai bersarang dikepalaku.

"Apa maksudmu?" Tanyaku.

"Cobalah memahaminya, Nareswari," balasnya yang langsung membuatku terdiam, "kau tahu mengapa aku suka memanggilmu Nareswari, tidak Nara atau Nawa?" sambungnya. Untuk kesekian kalinya dia berhasil mengalihkan pembicaraan. Aku hanya menggelengkan kepala tanda tidak tahu.

Biasanya orang tak mau repot-repot memanggilku Nareswari karena alasan terlalu panjang. Orang-orang biasa memanggilku Nara atau Nawa. Sedangkan Raksa, tak pernah kudengar selain Nareswari dari mulutnya.

"Kau tahu apa arti Nareswari Salasika, namamu?"

Aku menggeleng lagi, karena aku memang tidak tahu. Raksa selalu berhasil membuatku penasaran bahkan tentang namaku sendiri yang akupun tak tahu maknanya dan tak ingin tahu tadinya.

"Permaisuri yang berani." Raksa mengulas senyum tipis disela katanya.

Tawaku pecah. Sejenak Raksa berhasil membuatku lupa dengan hal yang membuatku murung tadi.

"Permaisuri? Lucu banget," tanggapku.

"Berjanjilah, mulai sekarang jadilah seseorang yang pemberani seperti namamu itu, Nareswari Salasika."

Raksa menatap lekat tepat di manik mataku, seakan menuntut kesanggupanku dengan apa yang diucapkannya tadi.

"Baiklah, baiklah. Aku akan coba menjadi orang yang berani, terutama dalam menghadapi masalahku," balasku dengan wajah penuh keyakinan. Ekspersi Raksa terlihat tidak puas dengan balasanku tadi, tapi buru-buru ia merubahnya sepertia biasa, Raksa yang menyenangkan.

Raksa menepuk pundakku pelan.

"Nah, kalau begitu pulanglah. Matahari sudah tenggelam aku khawatir orang rumah mencarimu."

Aku mendengus mendengar tiga kata terakhirnya, karena kuyakin tidak akan ada yang menunggu kepulanganku.

"Kamu nggak pulang?" tanyaku.

"Iya aku pulang. Tapi aku akan mengantarmu dulu ke halte bus, baru setelah itu aku pulang."

Aku menganggukkan kepala mengerti akan ucapannya. Lalu aku berdiri disusul Raksa dan berjalan bersama menuju halte bus.

Tak pernah kusangka itulah pertemuan terakhirku dengan Raksa dan aku telah mengingkari janjiku padanya. Nyatany,a aku masih lari dari masalah dan tidak bisa berdamai dengannya.

Orang tuaku kambali bertengkar hebat dan kata-kata terkutuk yang selama ini aku takutkan pun akhirnya keluar juga. Kata cerai itu begitu menakutkan ditelingaku, aku masih tidak bisa terima jika mereka berpisah. Bodohnya, aku tak bisa berbuat apa-apa, selain menangis dan pergi dari rumah mencari Raksa untuk mencurahkan segala apa yang terjadi.

Sosok Raksa yang lembut dan tenang membuatku nyaman jika ada di sampingnya. Ia selalu siap dengan nasihat-nasihat ataupun kata penyemangat di saat aku sedang terpuruk. Ketidakmunculan Raksa membuatku merasa kosong. Tanpa sadar sedikit demi sedikit aku mulai bergantung padanya dan mempercayainya. Barangkali karena usia Raksa lebih tua dariku, sehingga aku menganggap dia layaknya seorang kakak. Atau ada hal lain yang belum aku sadari? Sekarang dia menghilang tanpa jejak disaat aku seperti ini.  

“Mungkin lebih baik kamu tak usah muncul di depanku dulu, Raksa. Jika nyatanya sekarang kamu menghilang tanpa jejak seperti ini. Bagaimana lagi aku harus mencarimu?” monologku.

Baru kusadari aku tak tahu apa-apa tentang Raksa, tak tahu sedikitpun. Hanya namanya saja yang aku tahu. Sampai dia menghilang pun aku tak benar-benar tahu tentangnya. Raksa memang orang misterius, paling aneh.

Kakiku terus berlari dan berlari mencari sosok Raksa namun tak kunjung kutemukan. Dia seperti hilang ditelan bumi. Tak tahu seberapa putus asa aku ini mencarinya.

Langkahku terhenti di sebuah bangku panjang, aku duduk sambil menetralkan deru nafasku dan buru-buru kuusap air mataku. Tiba-tiba kata-kata terakhir Raksa terngiang-ngiang ditelingaku. Lama, terdengar semakin nyata. Kepalaku menoleh kesana-kemari, bergerak mencari sosoknya yang mungkin bersembunyi dibalik kerumunan pejalan kaki ditrotar ini. Ya, mungkin dia bersembunyi. Lalu aku berdiri, mengamati para pejalan kaki seperti pandir dengan suara serak yang tidak bisa disebut teriakan, hanya memanggil lirih nama Raksa.

Netraku terfokus saat kulihat sosok Raksa ditengah kerumunan orang pinggir jalan. Aku coba mengejarnya namun sosok itu tiba-tiba hilang. Lalu muncul lagi sosok Raksa, aku mengejarnya lagi dan hilang lagi ditelan kerumunan orang. Aku terus berlari seperti hilang arah. Suara klakson kendaraan saling bersautan bersama hiruk-pikuk keramaian jalan. Namun, aku terus berlari dan berlari. Tak kuindahkan teriakan orang di sekitarku.

"Awass!!" seseorang berteriak nyaring.

Seketika waktu terasa berhenti. Badanku terpental, aku merasa sesuatu telah mendorongku. Rasa sakit mulai menjalar ditubuhku, pandanganku berputar, tenggrokanku tercekat. Membuatku tak mampu bicara. Sedikit aku masih bisa melihat banyak orang berkerumun di sekelilingku. Pandanganku lama-lama menggelap dan selanjutnya tak tahu apa yang terjadi.

***

Tubuhku membeku, mulutku terbungkam rapat. Seluruh sarafku seakan berhenti bekerja. Aku diam ditengah ruang gelap yang sama sekali tak kukenal. Tiba-tiba muncul sosok dengan pakaian serba putih bersama seberkas cahaya menyilaukan.

"Kembalilah Nareswari, semua orang menunggumu."

Suara itu, itu suara Raksa. Dimana dia?

Aku menoleh kesana-kemari, namun sosoknya tak kutemukan lagi hanya suaranya saja yang terus bertalun mengelilingiku.

Sayup-sayup kudengar suara tangisan sambil memangil namaku. Perlahan sedikit demi sedikit cahaya menyilaukan mulai menerpa penglihatanku. Mataku mengerjap menyesuaikan dengan terpaan cahaya. Ternyata, itu cahaya lampu di sebuah ruangan serba putih dengan bau obat yang menyengat ini, bukan lagi ditengah ruangan gelap.

Kugerakkan tangan kiriku. Aku meringis saat rasa sakit menyerang. Kepalaku terasa pening dan aku sadar kemunculan Raksa hanyalah mimpiku semata.

"Nara, kamu sudah sadar nak," ucap seseorang disampingku, yang ternyata itu adalah ibuku. Bisa kulihat ayahku juga ada disampingnya. membuat rasa lega tersendiri di dalam hatiku saat melihat mereka bersama.

"Ini di mana?" tanyaku seperti orang linglung dengan suara parau.

"Ini di rumah sakit, Nar. Kamu mengalami kecelakaan dan sudah dua hari ini nggak sadarkan diri," jelas ayah dangan mata sayunya.

Ibu masih menangis. Tangannya sedari tadi tidak lepas menggenggam lembut tanganku yang tidak dialiri selang infus.

"Maafkan kami Nara, tolong jangan membahayakan diri kamu lagi. Maafkan kami," ucap ibu di sela tangisnya.

Kepalaku berdenyut dan rasa pening menyerang lagi saat kucoba mengingat apa yang terjadi terakhir kali, sebelum kecelakaan ini terjadi. Mulai dari saat ayah dan ibu bertengkar, lalu aku menangis dan pergi mencari Raksa yang tak pernah kutemukan ia di manapun.

"Raksa."

"Siapa Raksa?" tanya oraang tuaku dengan pandangan heran.

Aku baru sadar jika orang tuaku tidak tahu Raksa, dan mungkin mereka juga tidak perlu tahu siapa Raksa.

Aku menggeleng samar. "Eh, bukan siapa-siapa."

Ayah dan ibu pergi keluar untuk memanggil dokter dan aku dibiarkan sendiri didalam ruangan serba putih ini bersama televisi yang menyala. Aku melirik kesisi jendela yang ternyata langit sudah menggelap. Pikiranku masih tidak lepas dari hilangnya Raksa yang tiba-tiba. Bahkan saat aku mengalami musibah seperti ini kenapa dia tidak datang menjengukku.

Setelah beberapa menit, dokter datang bersama orang tuaku dan memeriksa keadaanku. Lalu dokter itu keluar lagi setelah mengatakan jika keadaanku sudah membaik. ibu dan ayah pergi menyusul dokter yang memeriksaku tadi. Sebelumnya, ibu berpesan jika ada surat untukku dan meletakkannya disamping kanan bantalku, barangkali aku ingin membacanya.

Aku meraih benda di samping bantalku dengan hati-hati karena nyeri di tanganku. Kuamati amplop coklat dalam genggaman tangan kananku. Tertulis dengan rapih namaku di situ. Sejujurnya aku heran, masih ada juga orang yang berkirim surat seperti ini.

Aku membuka amplop itu perlahan. Selanjutnya, kubuka lipatan kertas ini pelan-pelan. Jantungku berdetak kencang dan rasa penasaran semakin menyelimutiku.

Wajahku berubah pias saat kutahu siapa pengirimnya dan sekilas apa isi surat itu. Tanganku sedikit bergetar, bibirku bergerak mulai membaca satu persatu kata yang ditulis tangan dengan indah.

 

Nareswari,

Aku ini benar adanya, jadi tak perlu kamu memikirkan pandangan orang yang menganggapmu hilang akal. Ya, memang orang-orang tidak bisa melihat wujudku, karena kamulah satu-satunya dan mungkin kamu belum menyadari kelebihanmu itu. Mulailah peduli dengan sekitarmu, kamu akan menyadari jika banyak orang yang menyayangimu.

Bersama sepucuk surat ini, kamu mungkin berharap mendapat suatu fakta tentang aku. Tapi fikirku itu tak perlu, karena aku hanyalah manusia yang terjebak diantara hidup dan mati. Jangan pernah membahayakan dirimu lagi untuk mencariku, karena aku mungkin sudah tidak ada di dunia ini. Lupakanlah semuanya dan jadikan sebagai rahasia antara aku, kamu dan Tuhan.

 

Anggaraksa Abhirama

 

Komentar

Postingan Populer