KRITIK DAN ESAI SASTRA: IDUL FITRI DALAM PIKIRAN SUTARDJI CALZOUM BACHRI

 

Sumber gambar: pinterest


Idul Fitri merupakan hari besar bagi umat Islam di seluruh dunia, salah satunya di Indonesia. Bulan Ramadan dan Idul Fitri menjadi salah satu moment penting bagi umat muslim di Indonesia maupun seluruh dunia. Berbagai peristiwa dan kegiatan maupun tradisi menarik yang sudah lama terjadi. Mereka menyambut suka cita dan tidak lupa untuk berbondong-bondong memperbaiki kualitas iman dan melakukan ibadah untuk menambah pahala. Momen Idul Fitri ini dapat menjadi sebuah ide menarik dan menyentuh untuk dijadikan sebuah karya sastra. Salah satu sastrawan Indonesia yaitu Sutardji Calzoum Bachri memanfaatkan momen Ramadan sebagai ide yang dituangkan dalam karya sastra yang berjudul Idul Fitri.

 

Idul Fitri

Puisi  Sutadji Calzoum Bachri

Lihat

Pedang tobat ini menebas-nebas hati

dari masa lampau yang lalai dan sia

Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,

telah kutegakkan shalat malam

telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang

Telah kuhamparkan sajadah

Yang tak hanya nuju Ka’bah

tapi ikhlas mencapai hati dan darah

Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu

Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

Maka aku girang-girangkan hatiku

Aku bilang:

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu

Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta

Maka walau tak jumpa denganNya

Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini

Semakin mendekatkan aku padaNya

Dan semakin dekat

semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa

O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini

ngebut

di jalan lurus

Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir

tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia

Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu

di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan

Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus

Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir

tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia

Maka pagi ini

Kukenakan zirah la ilaha illAllah

aku pakai sepatu sirathal mustaqim

aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id

Aku bawa masjid dalam diriku

Kuhamparkan di lapangan

Kutegakkan shalat

Dan kurayakan kelahiran kembali

di sana

 

Puisi di atas menggambarkan seorang hamba yang telah kembali mengingat Tuhannya. Di hari yang fitri dengan sujud dan berserah diri kepada Tuhan. Sutardji menampilkan sosoknya yang religius melalui puisi di atas. Digambarkan jika kehidupannya yang dahulu pernah lupa dengan keberadaan Tuhan, tetapi seiring bertambahnya usia semakin ingin ia dekat dengan Tuhan.

Di awal puisi tersebut, penulis menggambarkan kesungguhan hati untuk bertaubat, seperti dalam larik /Lihat/Pedang tobat ini menebas-nebas hati/dari masa lampau yang lalai dan sia/, dari larik tersebut digambarkan rasa penyesalan yang akhirnya membuat tokoh ‘Aku’ memutuskan untuk bertobat dari segala kelalaian dan kesia-siaan yang telah terjadi di masa lalu. Kesungguhan untuk bertobat tidak hanya melalui kata-kata tetapi juga melalu perbuatan yang telah dilakukan seperti dalam larik /Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,/telah kutegakkan shalat malam/telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang/Telah kuhamparkan sajadah/Yang tak hanya nuju Ka’bah/tapi ikhlas mencapai hati dan darah/. Dalam larik tersebut menunjukkan kesungguhan dan semangat tokoh ‘Aku’ dalam melaksanakan ibadah di bulan ramadhan.

Dan pada momen bulan ramadan, ada masanya malam-malam yang paling ditunggu-tunggu dan dianggap istimewa, yaitu malam lailatul qadar. Malam lailatul qadar adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam ini Nabi Muhammad SAW menerima wahyu untuk pertama kalinya dari Allah SWT yang disampaiakan oleh malaikat Jibril. Sehingga malam lailatul qadar menjadi malam- yang paling ditunggu-tunggu oleh umat islam. Keadaan ini tergambarkan pada larik /Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu/Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya/Maka aku girang-girangkan hatiku. Dimana tokoh ‘Aku’ menjadi salah satu hamba yang sangat menantikan malam istimewa tersebut.

 

Aku bilang:

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu

Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

Bagi yang merindu insya Allah kan ada mustajab Cinta

Maka walau tak jumpa denganNya

Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini

Semakin mendekatkan aku padaNya

Dan semakin dekat

semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa

 

O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini

ngebut

di jalan lurus

Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir

tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia

Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu

di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan

Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus

Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir

tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia

 

Pada bait di atas tokoh ‘Aku’ mengingat kembali masa-masa dimana ia telah melakukan banyak kelalaian dan perbuatan yang tidak baik. Larik dalam bait di atas menunjukkan rasa penyesalan yang begitu besar, sehingga kini di sisa usianya ia benar-benar ingin bertaubat. Ia benar-benar ingin mendekatkan diri kepada Tuhan dan tidak pernah ingin lagi kembali ke masa-masa kelamnya. Ia mengharapkan bimbingan dan dekapan Tuhannya agar ia tidak salah langkah lagi.

 

Maka pagi ini

Kukenakan zirah la ilaha illAllah

aku pakai sepatu sirathal mustaqim

aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id

Aku bawa masjid dalam diriku

Kuhamparkan di lapangan

Kutegakkan shalat

Dan kurayakan kelahiran kembali

di sana

Pada bait di atas menggambarkan peristiwa yang dialami tokoh ‘Aku’ saat tiba waktunya hari besar umat Islam yaitu hari raya Idul Fitri. Dengan keadaan suci I pergi ke masjid untuk salat Id. Dapat dirasakan ketentraman batin saat momen Idul Fitri tiba, karena pada hari yang fitri itulah ia merasa terlahir kembali seperti bayi bari lahir 

Puisi tersebut ditulis dengan bahasa lugas dan langsung tanpa menghilangkan keindahan dari pilihan kata yang digunakan. Pengarang mampu menghidupkan suasana yang diceritakan dalam puisi tersebut. Kata-kata yang digunakan tidak sulit untuk dipahami sehingga pembaca mampu memahami makna yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.

 Jika dihubungkan dengan realitas, beberapa manusia yang sudah berumur berbondong-bondong mendekatkan diri kepada sang pencipta. Mereka kembali mengingat Tuhannya dan menyadari jika usia sudah tak lagi muda. Ibadah semakin ditingkatkan, sebagai dalih mengumpulkan pahala di akhir hayat.  Tidak tahu mereka benar-benar bertaubat atau hanya takut kematian.

 

 

Komentar

Postingan Populer