KRITIK DAN ESAI SASTRA: DRONACHARYA

 

Ulama Durna Ngesot ke Istana

Puisi :  M. Shoim Anwar


    Sumber gambar: pinterest


Lihatlah

sebuah panggung di negeri sandiwara

ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana

menjilat pantat raja remah-remah

maka kekuasaan menjadi sangat pongah

memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya

agar segala tingkah polah dianggap absah

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

menyerahkan marwah yang dulu diembannya

Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana

bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa

menunggang banteng bermata merah

mengacungkan arit sebagai senjata

memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa

adakah ia hendak menyulut api baratayuda

para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah

tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula

porak poranda dijajah tipu daya

oh tahta dunia yang fana

para begundal mengaku dewa-dewa

sambil menuding ke arah kawula

seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra

ia diumpankan raja ke medan laga

terhenyaklah saat terkabar berita

anak hasil perzinahannya dengan satwa

telah gugur mendahului di depan sana

Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya

ia menunduk di atas tanah

riwayatnya pun berakhir sudah

kepalanya terpenggal karena terpedaya

menebus karmanya saat baratayuda

 

                                         Desember 2020


Puisi karya M. Shoim Anwar di atas menjadikan Durna sebagai tokoh yang ingin beliau tuliskan dalam puisinya. Durna adalah adalah guru para Kurawa dan Pandawa. Ia merupakan ahli mengembangkan seni pertempuran.

Pada bait 1 menceritakan bagaiman resi Durna awal mulanya ke istana dan menjadi guru para pangeran Kuru. Durna mempunyai harapan saat datng menemui penguasa Hastinapura, ia mendapatkan sebuah keberuntungan agar bisa membalas musuhnya Drupada. Dapat dilihat dalam bait berikut

Lihatlah

sebuah panggung di negeri sandiwara

ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana

menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah

maka kekuasaan menjadi sangat pongah

memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya

agar segala tingkah polah dianggap absah

Dalam larik ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana/menjilat pantat raja/agar diberi jatah remah-remah/maka kekuasaan menjadi sangat pongah, larik tersebut jika dihubungkan dengan masa kini maka dapat menggambarkan bagaimana orang-orang mereka harus dekat dengan para penguasa agar mendapat kemudahan dalam memiliki hal yang diinginkan. Larik tersebut membuktikan ketidaktulusan manusia terhadap seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

 

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

menyerahkan marwah yang dulu diembannya

Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana

bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa

menunggang banteng bermata merah

mengacungkan arit sebagai senjata

memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara

Pada bait ke-2 di atas menggambarkan saat awal Durna di Hastinapura, ia adalah guru para pangeran yaitu Kurawa dan Pandawa. Pada akhirnya Durna memilih menjadi senapati para Kurawa dalam perang Baratayudha. Hal tersebut tidak lepas dari Sengkuni yaitu paman para Kurawa. Sengkuni merupakan orang licik tetapi aslinya adalah orang yang penakut. Sengkuni menjadikan keponakannya yaitu para Kurawa maupun Raja Destrarastra sebagai tameng dirinya. Hubungan persaudaraan Antara Sengkuni dan Kurawa menjadikan ia berbuat seenaknya, seperti pada larik Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana/bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa/menunggang banteng bermata merah/mengacungkan arit sebagai senjata/memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara.

Keadaan Sengkuni tersebut sejalan dengan beberapa orang di kenyataan saat ini, dimana banyak dari mereka yang bebruat semena-mena karena memiliki hubungan ataupun masih berkeluarga dengan orang yang berkuasa.

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa

adakah ia hendak menyulut api baratayuda

para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah

tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula

porak poranda dijajah tipu daya

oh tahta dunia yang fana

para begundal mengaku dewa-dewa

sambil menuding ke arah kawula

seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah

Pada bait ke-3 tersebut menggambarkan bagaiman Ulama Druna ia menyebarkan ketidakbenaran kepada pengikutnya. Jika dihubungkan pada kenyataan saat ini Ulama Druna adalah penebar hoax atau bisa disebut provokator yang digambarkan pada larik /ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa/adakah ia hendak menyulut api baratayuda/para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah/tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula/porak poranda dijajah tipu daya. Tindakan yang dilakukan ulama Druna yang digambarkan pada bait ke-3 menyebabkan kehancuran dan perpecahan akibat tipu daya.

 

Pada bait ke-4 diceritakan Ulama Durna harus turun ke medan perang demi mempertahankan kekuasaan junjungannya di Kurusetra. Pada peristiwa tersebut Ulama Druna mengalmai kemalangan yaitu anaknya mati dan Druna harus menerima karma karena perbuatannya. Hal tersebut seperti dalam bait berikut.

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra

ia diumpankan raja ke medan laga

terhenyaklah saat terkabar berita

anak hasil perzinahannya dengan satwa

telah gugur mendahului di depan sana

Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya

ia menunduk di atas tanah

riwayatnya pun berakhir sudah

kepalanya terpenggal karena terpedaya

menebus karmanya saat baratayuda

Pada bait ke-4 di atas menggambarkan keadaan Ulama Durna yang pada akhirnya tuan yang dijunjung dan diminta pertolongan oleh Ulama Durna telah berhianat. Ulama Durna harus mengikuti perintah perang dan juga menerima kabar kematian putranya di medan perang. Situasi yang dialami Ulama Druna bisa dibilang sebuah karma terhadap perbuatan yang e=telah ia lakukan. Sebelumnya, Ulama Druna menyebarkan ketidakbenaran dan mengikuti penguasa yang lalim, maka saat itulah perbuatannya tersebut dibalas dengan penderitaan dan kematian putranya. Ulama Druna hanyalah pion penguasa untuk menghancurkan kawula.

 

        Puisi berjudul Ulama Durna Ngesot ke Istana karya M. Shoim Anwar memiliki 4 bait dan 37 baris. Puisi tersebut setiap baris berima a, dan akan terdengar menarik saat dibaca karena keselarasana dari rima yang digunakan. Sayangnya, penggunsan diksi pada puisi tersebut memakai diksi yang tidak umum untuk kebanyakan orang. Serta membutuhkan pemahaman lebih dalam untuk mengerti maaksud dari puisi tersebut yang ingin disampaiakn pengarang kepada pembaca.

 

Komentar

Postingan Populer