KRITIK DAN ESAI SASTRA: PUISI MASHURI

 



Puisi 1

Hantu Kolam

 

: plung!

di gigir kolam

serupa serdadu lari dari perang

tampangku membayang rumpang

mataku berenang

bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap

koral di dasar yang separuh hitam

dan gelap

tak ada kecipak yang bangkitkan getar

dada, menapak jejak luka yang sama

di medan lama

segalangnya dingin, serupa musim yang dicerai

matahari

aku terkubur sendiri di bawah timbunan

rembulan

segalanya tertemali sunyi

mungkin…

“plung!”

aku pernah mendengar suara itu

tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu

yang jatuh

kerna kini kolam tak beriak

aku hanya melihat wajah sendiri, berserak

Banyuwangi, 2012-12-03

 

 

Puisi 2

Hantu Musim

 

aku hanya musim yang dikirim rebah hutan

kenangan – memungut berbuah, dedaunan, juga

unggas – yang pernah mampir di pinggir semi

semarakkan jamuan, yang kelak kita sebut

pertemuan awal, meski kita tahu, tetap mata

itu tak lebih hanya mengenal kembali peta

lama, yang pernah tergurat berjuta masa

bila aku hujan, itu adalah warta kepada ular

sawah hasratku, yang tergetar oleh percumbuan

yang kelak kita sebut sebagai cinta, entah yang

pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu

mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh

di situ, aku panas, sekaligus dingin

sebagaimana unggas yang pernah kita lihat

di telaga, tetapi bayangannya selalu

mengirimkan warna sayu, kelabu

dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya

dengan atau tanpa cerita tentang musim

yang terus berganti…

Magelang, 2012

 

 

Puisi 3

Hantu Dermaga

 

mimpi, puisi dan dongeng

yang terwarta dari pintumu

memanjang di buritan

kisah itu tak sekedar mantram

dalihmu tuk sekedar bersandar bukan gerak lingkar

ia serupa pendulum

yang dikulum cenayang

dermaga

ia hanya titik imaji

dari hujan yang berhenti

serpu ruh yang terjungkal, aura terpenggal dan kekal

tertambat di terminal awal

tapi ritusmu bukan jadwal hari ini

dalam kematian, mungkin kelahiran

kedua

segalanya mengambang

bak hujan yang kembali

merki pantai

telah berpindah dan waktu pergi

menjaring darah kembali

Sidoarjo, 2012

 

Puisi di atas merupakan karya seorang penulis bernama Mashuri, ia lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1987. Mashuri adalah seorang alumnus Sastra Indonesia di Universitas Airlangga. Buku puisi terbarunya yang akan segera terbit adalah Munajat Buaya Darat. Salah satu karya Mashuri dalam dunia puisi yaitu puisi di atas yang berjudul Hantu Kolam, Hantu Musim, dan Hantu Dermaga.

Pada puisi pertama menggambarkan seseorang yaitu tokoh ‘Aku’ yang sedang termenung menikmati kesendirian di dekat kolam ikan. Sambil menikmati ikan-ikan yang berenanang, tokoh ‘Aku’ merasakan kesunyian, seperti dalam larik /di gigir kolam serupa serdadu lari dari perang tampangku membayang rumpang/. Suasana kolam itu menciptakan keadaan dimana fikirannya harus kembali teringat dengan sesuatu yang telah lama berlalu. Membawa sosok itu sendirian kembali ke masa sunyi, keadaan tersebut tergambar dalam bait berikut.

segalangnya dingin, serupa musim yang dicerai

matahari

aku terkubur sendiri di bawah timbunan

rembulan

segalanya tertemali sunyi

mungkin…

“plung!”

aku pernah mendengar suara itu

tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu

yang jatuh

kerna kini kolam tak beriak

aku hanya melihat wajah sendiri, berserak

Dari bait di atas dapat digambarkan jika tokoh ‘Aku’ merasakan kesendirian meskipun ia hidup dalam gemerlap cahaya, seperti dalam larik /aku terkubur sendiri di bawah timbunan rembulan/, bahkan cahaya disekelilingnya tak mampu menghilangkan kesendirian yang ia alami. Pada akhirnya ia hanya merasa sunyi seorang diri.

 

Pada puisi kedua menggambarkan rekaman kenangan yang masih tersimpan dari waktu ke waktu. Tokoh ‘Aku’ menggambarkan dirinya adalah musim itu sendiri, dimana ia ada melalui berbagai masa dan waktu. Setiap masa yan ia jalani mengingatkannya kembali pada masa dimana semua kenangan terjadi. Ia adalah musim itu sendiri, yang merekam segala kenangan di dalam pikirannya. Seperti dalam bait pertama berikut.

aku hanya musim yang dikirim rebah hutan

kenangan – memungut berbuah, dedaunan, juga

unggas – yang pernah mampir di pinggir semi

semarakkan jamuan, yang kelak kita sebut

pertemuan awal, meski kita tahu, tetap mata

itu tak lebih hanya mengenal kembali peta

lama, yang pernah tergurat berjuta masa

Pada bait kedua tokoh ‘Aku’ memposisikan dirinya sebagai musim hujan dengan hati serta hasratnya adalah sawah yang subur karena hujan. Dalam bait tersebut digambarkan jika hasrat si tokoh ‘Aku’ tergetar karena adanya cinta. Melalui cinta yang telah ia rasakan tersebut membawa tokoh ‘Aku’ pada pengalaman-pengalaman yang membuatnya mengetahui kembali hal-hal dari banyak sudut pandang, seperti dalam larik /…percumbuan yang kelak kita sebut sebagai cinta, entah yang pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu/mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh/. Pada bait ketiga tokoh ‘Aku’ adalah musim panas sekaligus dingin itu sendiri. Pada bait ketiga ini digambarkan kesedihan, seperti pada larik /…tetapi bayangannya selalu mengirimkan warna sayu, kelabu/, warna sayu menggambarkan perasaan. sedih dan suram yang menunjukkan bagaimana perasaan tokoh ‘Aku’ saat itu. Akan tetapi, meskipun kisahnya berakhir dengan sayu, tokoh ‘Aku’ masih ingin mengulang-ulang dan mengingatnya meskipun masa itu telah berlalu, keadaan ini tergambar pada larik /dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya dengan atau tanpa cerita tentang musim yang terus berganti/.

 

Pada puisi ketiga menggambarkan jika banyak kisah yang telah terjadi yang ditinggalkan oleh tokoh ‘Mu’ dan  itu bukanlah hanya sebuah mantra yang dibaca dengan kekuatan gaib, tapi telah menjadi sebuah ingatan yang tidak bisa dilupakan. Masa keterpurukan telah membawa separuh semangat dalam jiwa dengan fikiran yang tidak lepas dari sebuah awal yang menjadi awal mula terjadinya kisah itu. Keadaan ini tergambar pada bait pertama berikut.

mimpi, puisi dan dongeng

yang terwarta dari pintumu

memanjang di buritan

kisah itu tak sekedar mantram

dalihmu tuk sekedar bersandar bukan gerak lingkar

ia serupa pendulum

yang dikulum cenayang

dermaga

ia hanya titik imaji

dari hujan yang berhenti

serpu ruh yang terjungkal, aura terpenggal dan kekal

tertambat di terminal awal

Pada bait kedua pembaca akan menemukan kata ‘ritus’ yang merupakan upacara keagaaan. Pada bait kedua ini, meskipun separuh jiwa telah hilang tetapi kehidupan masih terus berlanjut, dan masih adanya kesempatan kedua, tetapi masih banyak ketidakpastian dan masa-masa pedih yang harus dilalui. Keadaan tersebut tertuang dalam bait berikut.

tapi ritusmu bukan jadwal hari ini

dalam kematian, mungkin kelahiran

kedua

segalanya mengambang

bak hujan yang kembali

merki pantai

telah berpindah dan waktu pergi

menjaring darah kembali

 

Meskipun ketiga puisi tersebut memakai kata hantu, tetapi isi di dalamnya tidak menggambarkan hantu seperti yang dibayangkan kebanyakan orang dimana hantu adalah sosok yang menakutkan dan seram. Dalam puisi tersebut terdapat keputusasaan tentang hubungan dengan seseorang. Masa lalu tidak akan bisa terulang lagi, dan di masa kini masa lalu tersebut hanya bisa dikenang dan akan tetap mengakar dalam pikiran.

Diksi yang digunakan dalam puisi tersebut merupakan kata yang tidak umum terdengar ditelinga kita dan ada beberapa yang mungkin sulit dipahami, sehingga perlu mencari artinya di kamus. Tetapi pemilihan diksi dalam puisi tersebut sangat indah dan menarik. Puisi tersebut terkesan seperti teka-teki dalam sebuah cerita bersambung. Penggunaan kata kata yang tidak biasa tersebut menambah kemisteriusan dalam setiap lariknya. Pembaca akan dibawa menyelami kepingan-kepingan peristiwa yang dilalui oleh tokoh ‘Aku’ lewat bait-bait puisi yang ada. Kehampaan yang dirasakan tokoh ‘Aku’diimajinasikan begitu elok.

Terlepas dari adanya beberapa diksi yang mungkin sulit dipahami, puisi tersebut sangat indah dan memiliki makna yang sangat mendalam. Pembaca akan ikut hanyut dalam keadaan yang tergambar dalam setiap baitnya.


Sumber puisi https://puisikompas.wordpress.com/tag/mashuri/

 

Komentar

Postingan Populer